Kamis, 18 Juni 2020

Menarasikan Sunyi dalam film Istirahatlah, Kata-kata

Baju Loak Sobek Pundaknya, adalah dimana saya pertama kali bertemu ‘sosok’ Widji Thukul. Puisi tersebut diadaptasi menjadi pertunjukkan teater oleh jurusan Sastra di kampus saya yang dipentaskan pertengahan 2019. ‘Sosok’ Widji Thukul selanjutnya saya temui di film Istirahatlah, Kata-kata yang saya saksikan di TVRI tiga hari yang lalu. Secara kebetulan pula adegan Baju Loak Sobek Pundaknya ditampilkan juga pada film, yaitu ketika di masa pelariannya Widji membelikan sepotong baju untuk Sipon, istrinya nun jauh di Jawa.

Istirahatlah, Kata-kata merupakan film garapan Yosep Anggi Noen. Film ini membawa penonton menyaksikan periode pelarian Widji pasca penangkapan aktivis pro-demokrasi 1998. Sehingga memang tidak akan ditampilkan adegan aksi demo riuh yang memacu adrenalin. Sebaliknya, suasana yang dibangun adalah kesepian yang mencekam sebagai seorang buronan aparat. Dialog minim dan pengambilan gambar dari jarak jauh khas Anggi Noen seperti pada film pendek Rumah (2015) dan Hujan Tak Jadi Datang (2009).

Pergulatan batin Widji selama pelariannya juga dapat ditangkap penonton lewat puisi-puisinya yang dibacakan sesuai adegan yang berkaitan. Alih-alih sebagai aktivis nekad yang berapi-api, Anggi Noen mencoba menampilkan Widji sebagai manusia yang memiliki rasa takut melalui dialog, “Hidup jadi buronan ternyata lebih menakutkan dari menghadapi sekompi ‘kacang ijo’ bersenapan lengkap yang membubarkan demonstrasi”, dan juga sebagai sosok seorang bapak yang merindukan anak saat Widji sering mendengar suara tangisan bayi di tengah malam . Pun pengambilan gambar jarak jauh sehingga latar tempat mendominasi menyiratkan arti, seperti misal obrolan Widji dan rekan-rekannya di tepi sungai Kapuas memberi makna bahwa Widji yang sedang mencoba membaur dengan lingkungan barunya sebagai Paul.    

Tentang kebencian Widji pada aparat disajikan rapi pada sebuah adegan di kios potong rambut ketika seorang tentara yang bercukur melontarkan basa-basi kepada Widji dan rekannya. Takut dan marah, adalah emosi yang ingin ditunjukkan dari adegan ini. Gerak-gerik Widji atas pertanyaan-pertanyaan si tentara membawa penonton  pada situasi mendebarkan. Tapi saya melihat pada film hanya saat itulah ditampilkan interaksi Widji dengan aparat. Sisanya, Anggi Noen menampilkan Widji sebagai sosok dalam pelarian yang lelah akan keadaan.

Secara keseluruhan sutradara Anggi Noen mengajak kita sebagai penonton menyelami Widji Thukul sebagai manusia, bukan sebagai aktivis superhero yang puisinya mampu menggerakkan ribuan buruh pabrik. 97 menit durasi film terasa cepat saja bagi saya, tempo film yang lambat dan latar tempat yang mendominasi angle gambar memberi waktu penonton menikmati sembari memaknai suasana hati dan kesunyian Widji di masa-masa pelariannya.