Baju Loak
Sobek Pundaknya, adalah dimana saya pertama kali bertemu ‘sosok’ Widji Thukul.
Puisi tersebut diadaptasi menjadi pertunjukkan teater oleh jurusan Sastra di
kampus saya yang dipentaskan pertengahan 2019. ‘Sosok’ Widji Thukul selanjutnya
saya temui di film Istirahatlah, Kata-kata yang saya saksikan di TVRI tiga hari
yang lalu. Secara kebetulan pula adegan Baju Loak Sobek Pundaknya ditampilkan
juga pada film, yaitu ketika di masa pelariannya Widji membelikan sepotong baju
untuk Sipon, istrinya nun jauh di Jawa.
Istirahatlah,
Kata-kata merupakan film garapan Yosep Anggi Noen. Film ini membawa penonton
menyaksikan periode pelarian Widji pasca penangkapan aktivis pro-demokrasi
1998. Sehingga memang tidak akan ditampilkan adegan aksi demo riuh yang memacu
adrenalin. Sebaliknya, suasana yang dibangun adalah kesepian yang mencekam
sebagai seorang buronan aparat. Dialog minim dan pengambilan gambar dari jarak
jauh khas Anggi Noen seperti pada film pendek Rumah (2015) dan Hujan Tak Jadi
Datang (2009).
Pergulatan
batin Widji selama pelariannya juga dapat ditangkap penonton lewat
puisi-puisinya yang dibacakan sesuai adegan yang berkaitan. Alih-alih sebagai
aktivis nekad yang berapi-api, Anggi Noen mencoba menampilkan Widji sebagai
manusia yang memiliki rasa takut melalui dialog, “Hidup jadi buronan ternyata
lebih menakutkan dari menghadapi sekompi ‘kacang ijo’ bersenapan lengkap yang
membubarkan demonstrasi”, dan juga sebagai sosok seorang bapak yang merindukan
anak saat Widji sering mendengar suara tangisan bayi di tengah malam . Pun
pengambilan gambar jarak jauh sehingga latar tempat mendominasi menyiratkan
arti, seperti misal obrolan Widji dan rekan-rekannya di tepi sungai Kapuas
memberi makna bahwa Widji yang sedang mencoba membaur dengan lingkungan barunya
sebagai Paul.
Tentang
kebencian Widji pada aparat disajikan rapi pada sebuah adegan di kios potong
rambut ketika seorang tentara yang bercukur melontarkan basa-basi kepada Widji
dan rekannya. Takut dan marah, adalah emosi yang ingin ditunjukkan dari adegan
ini. Gerak-gerik Widji atas pertanyaan-pertanyaan si tentara membawa
penonton pada situasi mendebarkan. Tapi
saya melihat pada film hanya saat itulah ditampilkan interaksi Widji dengan
aparat. Sisanya, Anggi Noen menampilkan Widji sebagai sosok dalam pelarian yang
lelah akan keadaan.
Secara
keseluruhan sutradara Anggi Noen mengajak kita sebagai penonton menyelami Widji
Thukul sebagai manusia, bukan sebagai aktivis superhero yang puisinya mampu
menggerakkan ribuan buruh pabrik. 97 menit durasi film terasa cepat saja bagi
saya, tempo film yang lambat dan latar tempat yang mendominasi angle gambar
memberi waktu penonton menikmati sembari memaknai suasana hati dan kesunyian
Widji di masa-masa pelariannya.